Sepuluh Lewat Sepuluh
Hari itu layaknya biasa, langit berwarna biru, angin membelai lembut, tidak ada tanda-tanda aneh kali ini, bahkan semuanya terlihat lebih damai dari biasanya.
Hari itu terasa begitu nyata, otakku mencerna semua yang disana saat itu adalah fakta.
“Aku pindah,” kata itu yang terlontar dari mulutnya – setidaknya begitu yang otakku cerna kala itu – saat kaki kami melakukan high five dengan setiap jejak di jalanan.
Bayangan bisa melangkahkan kaki bersama setiap pagi berkelabat di pikiran setelah kata itu terucap, perjalanan kali ini jadi makin berwarna karenanya. Semuanya menjadi sempurna ketika impian selama ini tercapai. Walaupun hanya kaki kami yang mengobrol aku sudah lebih dari bahagia, apalagi kalau bagian lain – terlebih tangan – ikut berpartisipasi.
Tetiba, film dimatikan, aku kembali ke realita. Jam dinding bundar menyapa, pukul sepuluh lewat sepuluh menit, aku balik tersenyum padanya.
Pagi selalu diawali pukul tujuh lewat duapuluh, tapi penutupnya adalah sepuluh lewat sepuluh layaknya asimetris delapanbelas lewat duapuluh yang dilanjutkan simetrisnya duapuluhdua lewat sepuluh. Dua melawan dua, seimbang, satu saja hilang entah yang mana, duapuluhempat jam tidak akan ada.
Hari itu terasa begitu nyata, otakku mencerna semua yang disana saat itu adalah fakta.
“Aku pindah,” kata itu yang terlontar dari mulutnya – setidaknya begitu yang otakku cerna kala itu – saat kaki kami melakukan high five dengan setiap jejak di jalanan.
Bayangan bisa melangkahkan kaki bersama setiap pagi berkelabat di pikiran setelah kata itu terucap, perjalanan kali ini jadi makin berwarna karenanya. Semuanya menjadi sempurna ketika impian selama ini tercapai. Walaupun hanya kaki kami yang mengobrol aku sudah lebih dari bahagia, apalagi kalau bagian lain – terlebih tangan – ikut berpartisipasi.
Tetiba, film dimatikan, aku kembali ke realita. Jam dinding bundar menyapa, pukul sepuluh lewat sepuluh menit, aku balik tersenyum padanya.
Pagi selalu diawali pukul tujuh lewat duapuluh, tapi penutupnya adalah sepuluh lewat sepuluh layaknya asimetris delapanbelas lewat duapuluh yang dilanjutkan simetrisnya duapuluhdua lewat sepuluh. Dua melawan dua, seimbang, satu saja hilang entah yang mana, duapuluhempat jam tidak akan ada.
10 lewat 10.
BalasHapusngingetin aku sama drama korea Big. pemeran film itu akan berpelukan pada jam 10 lewat 10
ternyata 10 lewat 10 memang punya filosopi tersendiri.
Hm, ada ya? Gak pernah nonton drama korea aku xD
HapusTiap orang punya filosofi tersendiri di hidupnya :)
hmm.. apa ini semacam analogi tentang.. rutinitas yang selalu sama setiap harinya? kembali ke realita setelah menikmati sesuatu yang sempurna itu rasanya kayak.. "Ah, sudahlah".
BalasHapusHm... tiap orang bebas menafsirkan karyaku :)
Hapusmmm aku baca ulang ulang tulisan ini .
BalasHapusterus aku ulang.
ternyata aku masih belum paham.
tiba-tiba dunia terhenti.
ya, memang terkadang tidak semua hal harus kita pahami ;
Haha, udah bang kalau gak pengen memahami hentikan saja semua ini xD
HapusKetika selesai membaca tulisan ini, mendadak gw bingung. Ini intinya apa sih? Hahahaha
BalasHapusApa hayo :P
Hapus